Pemberian Subsidi Kereta Cepat ke Perusahaan Asing Rugikan Negara, DPR Diminta Panggil Menhub Budi Karya

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 24 April 2024 12:00 WIB
Ekonom Anthony Budiawan (Foto: MI/Aswan)
Ekonom Anthony Budiawan (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - PT Kereta Api Indonesia (KAI) merasa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung membebani keuangannya. 

Oleh karena itu, PT KAI minta bantuan dari pemerintah untuk meringankan beban keuangan perusahaan.

Bantuan dari pemerintah yang diminta KAI antara lain penyertaan modal negara (PMN), pembebasan biaya Infrastructure Maintenance and Operation (IMO) pada kereta konvensional, pembebasan pajak, dan pembebasan biaya penggunaan rel (Track Access Charge/TAC).

Lantas apa arti bantuan pemerintah?

Ekonom menyatakan, bantuan pemerintah artinya subsidi. Minta bantuan pemerintah, artinya minta subsidi.

Dalam hal ini, KAI minta pemerintah memberi subsidi kepada PT Kereta Cepat Indonesia China (PT KCIC), yang merupakan perusahaan patungan dengan kepemilikan saham 60% pihak Indonesia dan 40% pihak China (konsorsium perusahaan perkeretaapian China, Beijing Yawan HSR Co. Ltd).

"Artinya, PT KCIC termasuk kategori perusahaan asing. Artinya, KAI minta pemerintah memberi subsidi kepada perusahaan asing," kata Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) kepada Monitorindonesia.com, Rabu (24/4/2024).

Tentu saja permintaan subsidi ini, lanjut Anthony, diduga melanggar peraturan perundang-undangan. Karena, ujar dia, pemerintah tidak boleh memberi subsidi kepada perusahaan asing.

"Oleh karena itu, pemberian subsidi kepada perusahaan asing masuk delik merugikan keuangan negara, dan menguntungkan pihak lain, khususnya pihak asing China," ungkap Anthony.

Pasal 2 ayat (1) UU tentang Tindak Pidana Korupsi berbunyi:

"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".

Dan Pasal 3 berbunyi;

"Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".

Menurut KAI, saat ini sudah ada regulasi yang membuat biaya IMO dibebankan ke Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Artinya, lanjut Anthony, Kemenhub sudah melakukan dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, sudah memberi subsidi kepada perusahaan (patungan dengan) asing, dan oleh karena itu telah merugikan keuangan negara.

"Maka DPR wajib memanggil Menteri Perhubungan dan semua pihak yang bertanggung jawab terhadap kerugian keuangan negara ini," tandasnya.