Kenapa Pemerintah Repot-repot Gandeng China untuk Tanam Padi? Ingat Sejarah Kegagalan Food Estate!

Aswan LA
Aswan LA
Diperbarui 26 April 2024 16:04 WIB
Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menggandeng China untuk proyek pertanian padi di Kalimantan Tengah (Foto: Instagram Luhut)
Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menggandeng China untuk proyek pertanian padi di Kalimantan Tengah (Foto: Instagram Luhut)

Jakarta, MI - Wacana soal rencana China membantu Indonesia mengembangkan sawah padi di wilayah Kalimantan Tengah (Kalteng) tengah menjadi pro-kontra publik. 

Rencana ini diungkap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Ia menuturkan, China bersedia untuk mengembangkan pertanian di Kalteng dengan memberikan teknologi padi. Rencananya, proyek ini dimulai pada Oktober 2024 dengan lahan 1 juta hektare.

Padahal, ide untuk membangun lumbung pangan seluas lebih dari 1 juta hektare di Kalimantan Tengah telah muncul sejak era Orde Baru. Pada 1985-1986, Indonesia di bawah pimpinan presiden otoriter Soeharto berhasil mencapai swasembada sehingga sama sekali tidak mengimpor beras.

Setelahnya hingga 1993, impor besar relatif minim. Hanya pada 1987, 1991, dan 1992 angkanya sempat menyentuh ratusan ribu ton per tahun. Namun, kemarau panjang pada 1994 dan menyusutnya lahan pertanian di Jawa membuat produksi beras turun drastis.

Karena itu, Soeharto melempar ide pada jajaran menterinya pada Juni 1995 untuk membuka lahan pertanian raksasa di lahan rawa seluas 5,8 juta hektare di Kalimantan Tengah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk rendah, merujuk catatan Tempo.

Saat itu, ia meminta agar panen pertama dari proyek itu bisa terjadi dalam dua tahun. Lalu, terbitlah Keputusan Presiden No. 82/1995 tentang pengembangan lahan gambut (PLG) pada Desember 1995. Dikebut, proyek ini mulai berjalan pada 1996.

Dalam prosesnya, luas area PLG menciut jadi "hanya" 1,46 juta hektare.

Proyek ini kental dengan kolusi dan korupsi, entah terkait pembukaan lahan, pembangunan perumahan transmigran, pencetakan sawah, ataupun pengembangan saluran irigasi.

Saluran primer induk sepanjang ratusan kilometer yang dibangun saat itu pun justru memotong lahan gambut tebal dan memicu berbagai kerusakan ekologis, termasuk punahnya puluhan satwa liar, meningkatnya potensi banjir dan kebakaran, serta pencemaran tanah dan air.

Pada Maret 1997, Soleh Solahuddin yang saat itu menjabat rektor Institut Pertanian Bogor pun mengatakan hanya 586.700 hektare dari total 1,46 juta hektare lahan proyek PLG yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan.

Alhasil, produksi beras dari proyek PLG jauh dari harapan. Pada 1999, banyak lahan sawah telantar dan wilayah permukiman transmigran pun mulai ditinggalkan. Akhirnya, Presiden BJ Habibie membatalkan proyek PLG melalui Keputusan Presiden No. 80/1999 yang terbit pada Juli 1999. Namun, kegagalan ini tak menghentikan presiden-presiden selanjutnya untuk mendorong pengembangan lumbung-lumbung pangan baru.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat punya program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), yang diluncurkan pada Agustus 2010 dan membutuhkan lahan seluas 2,5 juta hektare di Merauke, Papua (kini di Papua Selatan).

Pemerintahan SBY pun sempat meluncurkan proyek food estate di Bulungan, Kalimantan Utara, pada 2011 dan di Ketapang, Kalimantan Barat, pada 2013. Dua proyek ini ditargetkan mencetak sawah masing-masing seluas 30.000 dan 100.000 hektare.

Di periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, food estate pun sempat masuk dalam daftar proyek strategis nasional (PSN) yang dirilis pada Januari 2016.

Rencananya, food estate akan dibangun di Papua, Maluku, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, dengan total luas lahan mencapai 1,7 juta hektare.

Proyek di Papua rencananya akan jadi kelanjutan MIFEE dari era SBY, meski dengan alokasi lahan lebih kecil, yaitu 1,2 juta hektare. Namun, seluruh proyek food estate itu keluar dari daftar PSN sejak 2017, karena dianggap "tidak strategis lagi" dan tidak mendapat dukungan dari daerah.

Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, mengatakan, dapat disimpulkan bahwa pengembangan food estate di Indonesia selama ini "konsisten gagal".

"Bisa dibayangkan setiap presiden ganti lokasi. Uang dihambur-hamburkan. Puluhan triliun dihambur-hamburkan untuk proyek itu. Untuk apa? Untuk gagal," katanya.

Namun, ide lumbung pangan kembali hidup pada 2020 setelah pandemi Covid-19 merebak. Saat itu, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) bahkan menyatakan bahwa pandemi berisiko memicu krisis pangan global.

Karena itu, Jokowi meminta jajaran menterinya untuk menyiapkan program food estate di lima provinsi: Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Papua, dan Nusa Tenggara Timur.

Namun, fokus utama ada di Kalimantan Tengah dan Sumatra Utara, berdasarkan catatan Sekretariat Kabinet. Dari sana, muncul kembali ide untuk memanfaatkan lahan bekas proyek PLG era Orde Baru.

Dalam rencana induk pengembangan food estate di Kalimantan Tengah yang terbit pada Maret 2023 pun disebutkan bahwa wilayah bekas PLG menjadi prioritas.

Rinciannya, 885.517,18 hektare dari wilayah bekas PLG merupakan kawasan dengan fungsi lindung ekosistem gambut, 497.133,23 hektare dengan fungsi budi daya ekosistem gambut, dan 87.618,95 hektare adalah lahan di luar kawasan hidrologi gambut.

"Pengembangan food estate atau kawasan sentra produksi pangan di wilayah ini berfokus pada wilayah yang berada di luar fungsi lindung ekosistem gambut," seperti tertulis di rencana induk itu.

Total luas lumbung pangan di Kalimantan Tengah diperkirakan mencapai 2,3 juta hektare, dengan 743.793 hektare di antaranya merupakan wilayah eks proyek PLG. Lumbung pangan itu bakal melintasi empat wilayah: Kabupaten Kapuas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Barito Selatan, dan Kota Palangkaraya.

"Kebijakan di area bekas PLG itu kita nilainya tidak cermat. Dia bertentangan dengan asas kecermatan, karena potensinya itu akan bikin bencana ekologis kembali bertambah," kata Lola Abas, koordinator nasional Pantau Gambut. Bencana ekologisnya yang kemarin masih belum selesai sekarang akan ditambah lagi," bebernya.

Kenapa pemerintah harus repot-repot menggandeng China untuk menanam padi?
Apa yang dikumandangkan Luhut justru diniali berpotensi gagal panen, sementara pemerhati lingkungan hidup mengkhawatirkan potensi kerusakan lahan.

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menegaskan jika kerja sama Indonesia-China termasuk dalam hal menyuplai benih padi dari luar negeri justru berpotensi mengalami kegagalan.

Menurut dia, penggunaan benih padi dari luar negeri ke Indonesia tidak selalu menjadi solusi baik dan bisa langsung diaplikasikan. 

Banyak hal yang perlu diperhatikan sebelum ini dilakukan, menurut dia, mulai dari adaptasi cuaca atau iklim, sifat tanah yang berbeda, serta hama penyakit.

Proses adaptasi ini, menurut Khudori tidak diketahui berapa lamanya. Selain itu, penanaman benih dari dari luar negeri juga belum tentu berhasil karena beberapa val, termasuk perbedaan cuaca antara Indonesia dan China. 

“Jangan lupa, China itu negara dengan empat musim, sementara Indonesia negara dengan dua musim. Perbedaan ini bakal memengaruhi karakter budidaya, karakter tanah, perilaku iklim/cuaca juga berbeda. Ahli di China bisa saja jagoan dalam pertanaman padi di sana, tapi ketika teknologi serupa diterapkan di Indonesia belum tentu berhasil. Hal ini mesti disadari para pengambil kebijakan," jelasnya.

Dia lantas menyinggung tahun 2007, bahwa ketika itu Wakil Presiden Jusuf Kalla menyambangi China dan kepincut benih hibrida China. China memang terkenal soal ini, karena di sana ada pengembangan dan penemu benih hibrida, Yuang Longping. 

Menurut mereka, produktivitas padi bisa mencapai 16 ton per hektare dengan menggunakan benih hibrida ini.

Tergiur dengan klaim tersebut, perusahaan Indonesia menjalin kerja sama dengan perusahaan China di bidang perbenihan. Namun menurut Khudori, belakangan diketahui ternyata benih padi hibrida yang diimpor dan dibagikan sebagai bagian dari bantuan benih kepada petani hasilnya tidak sesuai ekspektasi.

“Di beberapa tempat padi hibrida yang ditanam petani terserang penyakit. Ini menandakan, tidak mudah mengintroduksi sistem usahatani, benih salah satunya. Pasti butuh inovasi tambahan. Inovasi ketahanan penyakit misalnya,” tandas Khudori.

Sebelumnya, Luhut mengungkapkan bahwa Indonesia akan menggandeng China \untuk mengembangkan pertanian di Kalimantan Tengah. Menko Luhut mengatakan, China akan mentrasfer teknologi persawahan padi kepada Indonesia untuk proyek pertanian yang akan dikerjakan mulai Oktober 2024.

“Saya sudah lapor Pak Presiden, kita minta mereka (China) memberikan teknologi padi mereka, di mana mereka sudah sangat sukses menjadi swasembada dan mereka bersedia,” kata Luhut melalui akun Instagram.

Kesepakatan kerjasama tersebut adalah salah satu hasil dari Pertemuan Ke-4 High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI–RRT bersama Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jumat lalu. 

Luhut mengatakan, langkah berikutnya yang perlu dilakukan oleh Indonesia adalah mencari mitra lokal untuk bekerja sama dalam mengembangkan pertanian padi di Kalimantan Tengah.

Terlebih, sudah tersedia lahan sekitar 1 juta hektar yang siap digunakan untuk uji coba proyek pertanian bersama Tiongkok tersebut. "Kita tinggal mencari mitra lokal untuk membuatnya di Kalteng, karena tanahnya itu dari zaman dulu sudah ada sampai 1 juta hektare,” ucap Luhut. Luhut melanjutkan, pengelolaan lahan tersebut akan dilakukan secara bertahap. Sebagai contoh, akan dimulai dari 100 ribu hektare, naik ke 200 ribu hektare, dan seterusnya. 

Adapun badan atau lembaga yang ditunjuk untuk mengumpulkan hasil produksi tersebut nantinya adalah Perum Bulog. “Kita berharap 6 bulan dari sekarang mungkin kita sudah mulai dengan proyek ini,” harap Luhut. 

Menko Luhut juga berambisi merangkul anak-anak muda Indonesia yang bergelut di bidang pertanian untuk ikut bergabung dalam pengembangan proyek tersebut. Menurut Luhut, proyek sawah tersebut sangat penting karena padi sering menjadi permasalahan serius bagi Indonesia. "Selalu masalah kita adalah padi. Beras selalu kita impor, 2 juta lah, 1,5 juta lah. Jadi kalau program ini jalan, dan menurut saya harus jalan, kita sebenarnya minta 4–5 ton saja,” katanya.

Luhut menegaskan bahwa realisasi investasi terkait agrikultur demi mewujudkan ketahanan pangan cukup mendesak untuk dilakukan. 

Oleh sebab itu, Luhut saat ini tengah gencar mendorong kolaborasi dan adopsi modelling China dalam bidang riset dan teknologi pertanian, sekaligus penguatan kualitas produk pertanian, khususnya padi atau beras. "Kita menjadi lumbung pangan nanti ke depannya. Harusnya demikian,” tandas Luhut. (wan)