Anggaran Pilkada 2024 Capai Rp37 Triliun, Tapi DPR Bikin Gaduh!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 22 Agustus 2024 13:32 WIB
Petugas kepolisian menghadang pendemo di depan gedung DPR RI, Kamis (22/8/2024) (Foto: Dok MI/Albani Wijaya)
Petugas kepolisian menghadang pendemo di depan gedung DPR RI, Kamis (22/8/2024) (Foto: Dok MI/Albani Wijaya)

Jakarta, MI - Mahkamah Konstitusi atau MK telah mengeluarkan putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. Kalau MK melakukan keputusannya dengan baik, seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga bisa membuat kebijakan dengan melakukan kinerja yang mestinya harus lebih baik.

MK memiliki kewenangan dalam menguji aturan perundang-undangan. Kewenangan itu dinilai sangat luar biasa. Sedangkan DPR, diberikan tugas sebagai pembuat perundang-undangan. Hal itu merupakan amanat Pasal 20 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Meski Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam posisi tidak menyalahi aturan dengan melakukan revisi UU Pilkada. Namun, seharusnya DPR RI menghormati Mahkamah Konstitusi dalam proses pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Tentang Pemilihan Gubernur, Wali Kota, dan Bupati (Pilkada).

Sebab, DPR sebagai pilar legislatif hendaknya menghormati setinggi-tingginya lembaga yudikatif, termasuk Mahkamah Konstitusi.

Sayangnya, Baleg tidak mengikuti norma yang telah diputus oleh MK. Sebaliknya, yang menjadi rujukan adalah putusan MA tentang penghitungan batas usia minimal pencalonan kepala daerah yang dihitung sejak dilantik menjadi kepala daerah definitif. 

Selain itu, disepakati bahwa ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan juga tetap berlaku untuk parpol di parlemen. 

Sementara itu, pengurangan ambang batas yang diputuskan MK hanya berlaku untuk parpol yang tidak berada di parlemen.

Langkah DPR tersebut tidak hanya dapat menimbulkan masalah disharmoni dalam hubungan sistem ketatanegaraan, tetapi juga akan menjadi benih permasalahan serius dalam Pilkada 2024.

Buntutnya, baik mahasiswa, buruh, artis, seniman, hingga tokoh masyarakat riuh bergerak ke jalanan untuk berunjuk rasa menolak revisi Undang-undang Pilkada yang akan disahkan oleh DPR RI.

Lalu, sebenarnya bagaimana anggaran belanja Pilkada serentak 2024 ini? 

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan anggaran dan realisasi hibah Pilkada serentak 2024 mencapai Rp37,52 triliun, yang berasal dari Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, per 6 Agustus 2024 anggaran NPHD tersebut disalurkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang masing-masing mendapatkan Rp28,76 triliun dan Rp8,76 triliun.

Realisasi anggaran NPHD oleh KPU telah mencapai Rp26,85 triliun atau setara 93% dari pagu yang ditetapkan. Sementara Bawaslu realisasinya tercataat sebesar Rp7,72 triliun atau 88% dari total pagu anggaran.

Dengan demikian, anggaran dan realisasi hibah Pilkada per awal Agustus ini telah mencapai Rp34,57 triliun atau setara 92% dari pagu yang telah ditetapkan sebesar Rp37,52 triliun.

“Untuk pilkada Pemda sudah mengeluarkan Rp34,57 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dihibahkan ke pusat, Kemenkeu menyalurkan ke KPU-Bawaslu,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBNKita Agustus, Selasa (13/8/2024).

Anggaran Pilkada serentak 2024 bersumber dari APBD masing-masing pemda yang disalurkan oleh Kementerian Keuangan kepada KPU dan Bawaslu melalui mekanisme NPHD.

“Pemerintah daerah menghibahkan ke kita, karena KPU belanjanya dari K/L seolah-seolah Pemda memberikan ke pusat tapi itu sebetulnya untuk pemilu di daerah masing-masing. Untuk Bawaslu, daerah juga memberikan Rp7,72 t dari APBD nya terus kita salurkan ke Bawaslu,” bebernya.

Sri Mulyani mengatakan, bagi daerah yang belum menyelesaikan naskah perjanjian tersebut maka pemerintah pusat langsung mengantisipasinya.

Jika para Pemda sudah memiliki naskah namun belum mengirimkan dananya maka pemerintah pusat dapat langsung memotong transfer yang diberikan ke masing-masing daerah sesuai dengan nominal NPHD.

“Kita menggunakan either intercept yang kita bagi ke daerah terutama yang masih punya kas banyak kita bayarnya treasury deposit facility, artinya kita ga bayar daerah itu cash tapi dia punya deposit di treasury kita tapi mereka bisa pakai,” pungkasnya.

Topik:

Demo DPR Demo MK Revisi UU Pilkada Putusan MK Anggaran Pilkada