Pemerintah dan DPR Belum Menjawab Substansi Permohonan Uji Materi UU Sisdiknas

Aswan LA
Aswan LA
Diperbarui 19 Maret 2024 21:14 WIB
Badiul Hadi saat menjadi saksi ahli di MK (Foto: Dok MI)
Badiul Hadi saat menjadi saksi ahli di MK (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara uji materi pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas No.20/2003, yang dimohonkan oleh JPPI bersama sejumlah orang tua korban PPDB dengan IHCS (indonesian human rights committee for social justice) sebagai kuasa hukum, berlangsung pada Selasa (19/3/2024).

Pasal tersebut menyatakan dengan tegas bahwa, “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. 

Makna tanpa memungut biaya dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas ini sudah jelas, bahwa setiap warga negara, berhak mendapat pendidikan dasar tanpa harus membayar biaya pendidikan, termasuk biaya gedung, SPP, buku, seragam, dan biaya lainnya yang berkaitan dengan pendidikan. 

Faktanya, sekolah dasar yang bebas biaya ini, hanya dimaknai oleh pemerintah, hanya diterapkan di sekolah-sekolah negeri saja.

Akibatnya, setiap musim Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), selalu ricuh karena daya tampung sekolah negeri yang sangat terbatas, tak sebanding dengan jumlah anak usia sekolah yang ingin mendaftar.  

Karena itu, anak yang tidak lulus seleksi PPDB di negeri, merasa terdiskriminasi. 

Pada sidang kali ini, pemohon menghadirkan dua orang saksi. Mereka adalah warga negara Indonesia yang merasa terdiskriminasi akibat anaknya tidak bisa masuk sekolah negeri, dan terpaksa harus menempuh pendidikan dasar di sekolah swasta. 

Bersekolah di lembaga pendidikan swasta, bagi mereka, sangat berat, karena biayanya mahal dan banyaknya jenis pungutan yang mesti dilunasi.

Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan Keterangan Presiden dan Keterangan Ahli dan Keterangan Saksi dari Pemohon. 

Keterangan Saksi disampaikan oleh Jumono dan ibu Mirna. 

Jumono, orang tua peserta didik yang bersekolah di SMP swasta di Jakarta. Dia merasa terdiskriminasi karena anaknya tidak bisa masuk SMP negeri karena mekanisme seleksi yang menyebabkan ada yang lulus dan ada yang gugur. “Hak untuk mendapatkan sekolah yang bebas biaya itu harusnya dipenuhi oleh pemerintah, bukan malah diseleksi. Pemenuhan hak kok diseleksi, aneh. Saya merasa terdiskriminasi,” ujar Jumono di sela-sela sidang.  

Ibu Mirna, orang tua peserta didik yang kini tengah bersekolah di lembaga pendidikan swasta jenjang sekolah dasar di Kabupaten Bogor. Kini, ia harus menghadapi tagihan yang bertubi-tubi dari pihak sekolah karena adanya tunggakan kewajiban bayar yang ia harus tunaikan, tapi masih belum mampu dia penuhi. 

“Saat ini saya masih punya hutang ke sekolah sebesar 1,5 juta. Saya belum mampu bayar karena saya tidak punya uang dan masih banyak tanggungan lainnya. Ada juga teman-teman anak saya yang memilih untuk putus sekolah karena tak mampu bayar,” kata Mirna usai bersaksi di persidangan. 

Sementara itu, keterangan ahli disampaikan oleh Peneliti  Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Badiul Hadi. 

Ahli dalam keterangannya menjelaskan bahwa selama ini pemerintah lari dari tanggung jawab dan bersembunyi dibalik alasan ketercukupan anggaran. Menurut Badiul, bila pemerintah menjadikan pendidikan dasar ini sebagai prioritas, maka sangat mungkin untuk bisa mewujudkan pendidikan dasar yang bebas biaya itu. 

“Kita punya anggaran yang sangat besar untuk sektor pendidikan, jadi sangat cukup untuk bisa membiayai seluruh peserta didik di jenjang sekolah dasar, baik di negeri maupun swasta,” ungkap Badiul. 

Selain mendengarkan keterangan ahli dan saksi, sidang kali ini juga mendengarkan keterangan presiden yang diwakili oleh Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbudristek Iwan Syahril. 

Dalam persidangan sebelumnya, sidang telah mendengarman keterangan DPR RI yang diwakili oleh Taufiq Basari

JPPI menilai, baik keterangan dari Pemerintah dan juga DPR, belum menjawab materi gugatan. Iwan Syahril, banyak menjelaskan tentang pembiayaan yang sudah dilakukan oleh pemerintah baik kepada sekolah negeri maupun sekolah swasta. 

Sayangnya, skema ini ternyata belum mampu membebaskan biaya untuk seluruh anak yang bersekolah di jenjang sekolah dasar. Di sekolah negari masih banyak ditemukan pungli, apalagi di sekolah swasta, pungutan dan komersialisasi malah di disahkan.  

Begitu pula dengan keterangan DPR, tidak menjawab dengan tegas, ia malah memasrahkan kepada hakim MK untuk mengambil keputusan soal perkara ini. Padahal, yang diminta penggugat adalah soal tafsir sekolah bebas biaya yang hari ini masih diskriminatif. 

Pertanyaan gugatan ini adalah mengapa pendidikan bebas biaya ini hanya untuk sekolah negeri saja? Karena itu,  Pasal 34 Ayat (2) sepanjang frasa “..wajib belajar pada jenjang *pendidikan dasar tanpa memungut biaya” telah menimbulkan diskriminasi terhadap anak. 

Jadi, JPPI menilai tafsir pemerintah atas pasal Pasal 34 Ayat (2) UU sisdiknas, jelas bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan: “(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”

Sidang berikutnya masih mengagendakan keterangan ahli dan saksi dari pemohon. Kemungkinan di bulan Juli mengingat akan adanya sidang perselisihan hasil pemilu dalam waktu dekat.