Sederet Alasan MK Minta Pemerintah dan DPR Revisi UU Pemilu

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 23 April 2024 11:58 WIB
Suasana sidang putusan MKRI soal sengketa Pilpres 2024 (Foto: MI/Dhanis)
Suasana sidang putusan MKRI soal sengketa Pilpres 2024 (Foto: MI/Dhanis)

Jakarta, MI - Meski menolak permohonan PHPU, Mahkamah Konstitusi (MK) mengakui adanya kekurangan aturan kepemiluan. Mahkamah meminta pemerintah dan DPR merevisi Undang-undang Pemilu.

Salah satu norma yang mendapatkan penekanan untuk diatur adalah pengaturan terkait kegiatan bernuansa kampanye sebelum dan setelah masa kampanye. Sebab, ketiadaan aturan itu kerap membatasi Bawaslu dalam menangani pelanggaran yang terjadi di luar masa kampanye.

Hakim MK suhartoyo mengatakan, ketiadaan aturan memberikan celah bagi pelanggaran pemilu terlepas dari jeratan hukum.

Padahal, dalam UU pemilu ada larangan bagi pejabat, ASN maupun unsur pemerintahan lainnya untuk tidak mengadakan kegiatan yang menjurus pada keberpihakan, baik sebelum, selama dan setelah kampamye.

"Ke depan Pemerintah dan DPR penting melakukan penyempurnaan terhadap UU Pemilu, UU Pemilukada maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan kampanye," ujarnya, dikutip Selasa (23/4/2024).

Selain itu, MK juga menilai perlunya aturan detail bagi pejabat negara yang merangkap sebagai peserta pemilu. Selama ini, kegiatan kampanye kerap dilakukan di sela-sela tugas negara terjadi akibat ketidakjelasan batasan dalam undang-undang. Akibatnya, hal itu membuka peluang penyalahgunaan fasilitas.

Suhartoyo mencontohkan, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pernah melakukan dinas bagi-bagi bantuan sosial.

Namun setelah itu, Airlangga berganti kegiatan melakukan kampanye golkar di waktu dan lokasi yang berhimpitan. Ke depan, Suhartoyo berharap kegiatan kampanye dan tugas dinas tidak lagi dilakukan berhimpitan. UU Pemilu harus mengatur batasan yang jelas.

"Kedua kegiatan tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu yang bersamaan maupun berhimpitan, karena berpotensi adanya terjadi pelanggaran pemilu dengan menggunakan fasilitas negara," jelasnya.

Selain revisi UU Pemilu, MK juga mewanti-wanti berulangnya politisasi Bansos di Pilkada 2024. Hal itu disampaikan hakim Saldi Isra dalam pendapatnya di dissenting opinion.

"Saya mengemban kewajiban moral untuk mengingatkan guna mengantisipasi dan mencegah terjadinya pengulangan atas keadaan serupa dalam setiap kontestasi pemilu," ujarnya.

Saldi memperkirakan, penggunaan anggaran negara atau daerah oleh petahana demi memenangkan salah satu peserta pemilihan yang didukungnya dapat dimanfaatkan sebagai celah hukum. Sehingga dapat ditiru menjadi bagian dari strategi pemilihan.