Begal Duit Rakyat Bermodus Perabot RJA DPR, Fitra Desak Indra Iskandar Dicopot dari Sekjen

Aswan LA
Aswan LA
Diperbarui 23 April 2024 19:56 WIB
Gerbang Kompek Rumah Jabatan Anggota DPR Kalibata, Jakarta Timur (Foto: Dok MI)
Gerbang Kompek Rumah Jabatan Anggota DPR Kalibata, Jakarta Timur (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Usai publik dihebohkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang menganggarkan anggaran sebesar Rp48,5 miliar hanya untuk pengadaan gorden di rumah jabatan atau rumah dinas anggota DPR RI.

Kini Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) justru menemukan dugaan mega korupsi yang lagi-lagi peruntukannya hanya untuk 575 rumah jabatan bagi para wakil rakyat tersebut. 

KPK menyebut adanya modus peminjaman bendera perusahaan dalam kasus dugaan rasuah pengadaan kelengkapan rumah dinas DPR. Pelelangan formalitas juga terdeteksi penyidik lembaga antirasuah itu.

Pun KPK dikabarkan telah menetapkan tersangka lebih dari dua orang. Nilai dugaan korupsi yang diduga terjadi pada tahun 2020 itu mencapai puluhan miliar rupiah.

Kasus ini layak disebut disebut begal duit rakyat bermodus perabot rumah jabatan anggota dewan terhormat itu. Pasalnya, KPK juga telah menyatakan bahwa modusnya adalah penggelembungan harga dalam pembelian perlengkapan rumah dinas alias mark up.

“Ini memang kasusnya, kalau enggak salah mark up, mark up harga, ada persekongkolan. Kenapa harganya mahal, padahal harga di pasar enggak seperti itu,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (6/3/2024) lalu.

Kasus ini sudah proses pada tahap penyidikan di KPK. Tujuh orang juga sudah dicegah keluar negeri. Dari informasi yang diperoleh, ketujuh orang ini adalah pihak yang sudah ditetapkan tersangka dalam kasus ini. Meskipun belum resmi dipublikasikan KPK. Konstruksi perkaranya pun, belum diumumkan oleh KPK.

Adalah Sekjen DPR Indra Iskandar, Kepala Bagian Pengelolaan Rumjab DPR Hiphi Hidupati, Dirut PT Daya Indah Dinamika Tanti Nugroho, Direktur PT Dwitunggal Bangun Persada Juanda Hasurungan Sidabutar, Direktur Operasional PT Avantgarde Production Kibun Roni, Project Manager PT Integra Indocabinet Andrias Catur Prasetya dan pihak swasta Edwin Budiman.

Catatan Monitorindonesia.com, dari saksi-saksi yang diperiksa KPK, hingga saat ini belum ada dari pihak anggota maupun pimpinan DPR RI itu.

Hal ini membetok perhatian berbagai pihak. Pasalnya, dalam pengadaan perabot itu walaupun kuasa penggunaan anggaran DPR itu selalu dipegang oleh Setjen, tetapi soal rencana atau program-program yang akan dikerjakan itu, Setjen DPR selalu berkonsultasi dengan BURT.

Berangkat dari itu, Manager Riset di Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Badiul Hadi, berharap KPK membuka semua kemungkinan terkait pihak-pihak yang mungkin mendapatkan nikmat dari proyek itu, termasuk anggota maupun pimpinan DPR RI.

"KPK akan memproses hasil pemeriksaan, misalnya keterangan-keterangan yang sudah didapatkan dari saksi-saksi yang diperiksa. Apakah ada keterlibatan dari anggota DPR RI misalnya atau kah tidak, ini perlu dilakukan oleh KPK," kata Badiul saat berbincang Monitorindonesia.com, Selasa (23/4/2024) sore.

Kurang lebih 20 menit, Badiul Hadi berbincang dengan Monitorindonesia.com membahas kasus ini. Apakah ada dugaan keterlibatan anggota maupun pimpinan DPR itu. Yang jelasnya, dia menegaskan KPK wajib memeriksanya jika memang berpotensi terlibat. Namun dengan catatan, KPK tak terpengaruh dengan kepentingan politik Senayan itu.

"Sekiranya kemudian para saksi menyebut nama anggota DPR RI, saya kira wajiblah ya KPK meminta keterangannya. Tetapi biasanya kalau belum mereka tidak akan melakukan itu, meskipun potensinya kesana ada gitu," cetusnya.

Sudah lebih dari 20 saksi yang diperiksa dalam kasus ini. Badiul Hadi mewanti-wanti adanya tarik ulur politik yang sangat kuat. Mengingat di DPR kini memasuki ujung masa jabatan.

"Saya menduga ada nuansa politik, pastinya. Apa lagi ini kan Sekjen DPR RI tarik ulur politiknya sangat kuat lah, tidak mungkin tidak ada intervensi politiknya yang terjadi," katanya.

"Tinggal kemudian itikad baik dari pimpinan DPR RI untuk segera menyelesaikan kasus ini atau malah justru sebaliknya. Saya kira kembali ke masing-masing pimpinan DPR, apa lagi ini kan memasuki ujung masa jabatan ya. Artinya mereka kan pasti mempertimbangkan banyak hal dari sisi politik. Ada arah ke politik sih kasus ini," ungkapnya menimpali.

Kendati, Badiul Hadi menegaskan bahwa, prosedur yang dilakukan oleh KPK mungkin agak panjang. "Memang kita melihat beberapa waktu terakhir ini kan ada beberapa kasus yang ditangani KPK agak lambat, nggak tahu ada faktor apa di KPK itu ya, saya kira menjadi perhatian masyarakat

Indra Iskandar perlu dicopot
Badiul Hadi pun menyinggung soal Indra Iskandar yang sudah beberapa kali terseret dalam kasus dugaan korupsi, namun statusnya hanya sebagai saksi, baik saat dia sebelum menjadi Sekjen DPR RI maupun menjabat di intansi lainnya. "Ada potensi (kepentingan politik) ke sana itu, pastinya juga menjadi salah satu tarik ulur politik merujuknya ke sana gitu," katanya.

Berdasarkan catatan Monitorindonesia.com, bahwa pada awal Januari 2021 lalu, Indra Iskandar dipanggil KPK untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus korupsi PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Dalam kasus korupsi PT DI, Indra Iskandar dipanggil sebagai mantan Kepala Biro Umum Sekretariat Setneg. KPK mengendus aliran dana korupsi di PT DI mengalir hingga ke Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).

Pada Februari 2019, Tim penyidik KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap Indra Iskandar terkait kasus dugaan suap Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik pada perubahan APBN Tahun Anggaran (TA) 2016 untuk alokasi APBD-P Kabupaten Kebumen TA 2016.

Pada 21 Maret 2019, Indra Iskandar diperiksa KPK terkait dengan kasus Plt. Kadis Pekerjaan Umum Pegunungan Arfak Papua Barat Natan Pasomba, yang diduga menyuap anggota DPR Periode 2014-2019 Fraksi PAN Sukiman (SKM) sebesar Rp2,65 miliar dan 22 ribu Dolar AS untuk memuluskan pengurusan dana perimbangan untuk Kabupetan Pegunungan Arfak, Papua Barat. Saat itu, Indra Iskandar mengaku hanya ditanya seputar penyitaan sejumlah dokumen di DPR saat menjalani pemeriksaan oleh penyidik KPK.

Pada April 2019 Indra Iskandar diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap jual beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag) yang menjerat Ketua Umum PPP Romahurmuziy (Romi). Romi diduga menerima suap dari Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi dan Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin. 

Tak hanya kasus itu, pada Mei 2019 Indra Iskandar juga sempat diperiksa sebagai saksi untuk tersangka anggota Komisi VI DPR RI Bowo Sidik Pangarso (BSP). 

Bowo terseret kasus suap pelaksanaan kerja sama pengangkutan bidang pelayaran antara PT Pupuk Indonesia Logistik (PILOG) dengan PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) dan juga menerima gratifikasi.

Dari situlah, Badiul Hadi mendesak pimpinan DPR RI agar segera mencopot Indra Iskandar dari jabatan terhormatnya itu. "Saya kira, kalau memang untuk mempermudah proses penyidikan KPK soal kasus dugaan korupsi itu, saya dorong pimpinan DPR RI mencopotnya agar kemudian proses-proses itu berjalan secara efektif," cetusnya.

Karena, menurut dia, itu kewenangan pimpinan DPR RI untuk memberikan kebijakan untuk memudahkan proses pengungkapan kasus ini. "Artinya itu kan tidak lepas dari posisi pimpinan DPR, terkait dengan posisi Sekjen itu sendiri. Apakah mau dinonaktifkan atau mau diapakan itu kan saya kira tidak lepas dari situ juga," jelasnya.

Siapa yang akan diseret KPK?
Selain itu, dia menegaskan, KPK perlu mengembangkan ke mana aliran dana hasil mark up-nya. Apakah hanya dinikmati orang per orang atau sekelompok orang, atau ke partai politik tertentu.

"KPK perlu lakukan hal itu," katanya.

Modus korupsi ini adalah modus klasik yakni mark up anggaran dan menurunkan kualitas barang. "KPK perlu menginvestigasi perihal transparansi proses penetapan anggaran  pengadaan sarana prasarana rumah dinas DPR itu," tegasnya.

Dikatakannya, bahwa proses lelang dan penentuan pemenang lelang dan ada tidaknya fee atau kick back bagi pejabat Setjen DPR dan BURT DPR. Celah ini, menurut dia, yang selalu dimanfaatkan oleh Setjen DPR untuk mendapatkan keuntungan.

Bahkan, para anggota DPR yang mendapati sarana prasarana hasil pengadaan barang jasa (PBJ). "Jika barang tak sesuai dengan spesifikasi, seharusnya anggota DPR bisa melaporkannya ke BURT. Apakah mereka melakukan itu?" tanyanya.

"Kita tunggu saja KPK, apakah akan memperluas penyidikan kasus ini pada anggota DPR, semua tergantung dari keperluan penyidikan KPK," tandasnya.

Melansir laman LPSE DPR, terdapat empat pengadaan kelengkapan sarana Rumah Jabatan Anggota (RJA) DPR pada tahun anggaran 2020 untuk satuan kerja Sekretariat Jenderal DPR.

Pengadaan yang dimaksud, yaitu kelengkapan sarana RJA DPR Ulujami dengan harga perkiraan sendiri (HPS) Rp 10 miliar; pengadaan kelengkapan sarana RJA DPR Kalibata Blok A dan B dengan HPS Rp 39,7 miliar; pengadaan kelengkapan sarana RJA DPR Kalibata Blok C dan D dengan HPS Rp 37,7 miliar; dan pengadaan kelengkapan sarana RJA DPR Kalibata Blok E dan F dengan HPS Rp 34 miliar. (wan)