Bakal Revisi UU Pilkada secara Kilat, DPR Kekeuh Tak Anulir Putusan MK - Pakar HTN: Pembangkangan Konstitusi!


Jakarta, MI - Secara kilat, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar rapat kerja untuk merevisi Undang-undang Pilkada pada hari ini, Rabu (21/8/2024).
Rapat dilakukan buntut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah.
Rapat kerja itu digelar pada Rabu pukul 10.00 WIB, dilanjutkan rapat panitia kerja pembahasan revisi UU Pilkada pada pukul 13.00 WIB, dan akan diputuskan pada Rabu pukul 19.00 WIB.
Anggota Badan Legislasi DPR Yandri Susanto mengklaim, revisi UU Pilkada tidak bertujuan untuk menganulir putusan MK, tetapi menyadur putusan MK ke dalam UU Pilkada.
"Kita enggak mungkin menganulir MK, kita ingin menyadur itu biar terang benderang, tidak ada tafsir yang liar, oleh penyelenggara KPU maupun pasangan calon yang ingin berkontestasi di Pilkada. Inilah redaksinya, titik komanya, kalimat per kalimatnya itu mesti kita sadur dalam UU Pilkada," kata Yandri ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024) sebelum rapat Baleg.
Pembangkangan!
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai, tindakan pemerintah dan DPR hari ini yang mendadak merevisi UU Pilkada melalui rapat Badan Legislasi (Baleg) untuk merevisi putusan MK mengenai UU Pilkada kemarin sama saja dengan pembangkangan terhadap konstitusi.
"Kalau ini dilakukan, ada pembangkangan konstitusi menurut saya. Ini semua sudah dagelan lah, menurut saya, pembangkangan konstitusi yang luar biasa," ujar Vivit sapaannya, Rabu (21/8/2024).
Istilah pembangkangan konstitusi merupakan istilah yang dikeluarkan MK sendiri melalui putusan nomor 98/PUU-XVI/2018. Ketika itu, terbit putusan pengadilan yang berbeda dengan putusan MK mengenai syarat pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Terjadi ketidakpastian hukum yang membelit KPU karena ada 2 putusan berbeda yang tersedia, namun KPU akhirnya memilih manut putusan MK.
Dalam pertimbangan putusannya, majelis hakim konstitusi ketika itu menegaskan bahwa sekali Mahkamah telah mendeklarasikan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka tindakan apa pun yang mengabaikan putusan itu bakal bersifat ilegal.
Pengabaian itu dapat berarti penggunaan suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang seolah-olah sebagai undang-undang yang sah, padahal oleh Mahkamah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
"Dengan demikian, dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi," tulis putusan tersebut.
Bivitri mendesak KPU untuk tetap menjaga konstitusi selaku lembaga independen dan lembaga pelaksana undang-undang. Ia menegaskan, undang-undang yang harus dipatuhi oleh KPU adalah undang-undang/perppu yang konstitusional, dalam hal ini undang-undang/perppu yang selaras dengan putusan MK selaku lembaga penafsir utama konstitusi.
"Kalau Perppu atau undang-undangnya itu melanggar putusan MK yang artinya melanggar konstitusi. Jadi KPU seharusnya tidak melaksanakan perppu itu dan langsung saja bikin peraturan KPU yang secara teknis mengatur (perubahan aturan teknis karena penyesuaian putusan MK)," tandas Bivitri.
Putusan MK tak bisa direvisi
Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah bersifat final sehingga tak dapat direvisi.
Bahkan dalam putusan MK dijelaskan itu merupakan amanat UUD 1945 hasil amendemen ketiga yang tercantum secara eksplisit pada Pasal 24C ayat (1).
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum,” bunyi ayat tersebut dikutip Montorindonesia.com, Rabu (21/8/2024).
Kemarin, MK memang telah memutuskan ambang batas pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik hasil Pileg DPRD atau 20 persen kursi DPRD.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang putusan perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Selasa (20/8/2024).
Majelis MK memutuskan ambang batas Pilkada akan ditentukan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah. Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu; 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait.
Tak lama setelah putusan ini dibacakan, Baleg DPR tiba-tiba menjadwalkan rapat pembahasan revisi Undang-Undang Pilkada. Baleg DPR menggelar rapat pembahasan hingga penetapan sampai malam hari. (an)
Topik:
Revisi UU Pilkada Putusan MK DPR