Partai Gelora Tegaskan Tolak PKS Gabung Koalisi Prabowo-Gibran Karena Kerap Buat Kegaduhan

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 28 April 2024 18:33 WIB
Bendera Partai Gelora Indonesia (Foto: Gelora)
Bendera Partai Gelora Indonesia (Foto: Gelora)

Jakarta, MI - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia memgaku tak setujua jika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bergabung ke dalam koalisi pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. 

Hal itu ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal Partai Gelora Indonesia Mahfuz Sidik, yang merespons wacana PKS membuka pintu kerja sama untuk mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran.

Mahfuz mengatakan, apabila PKS menjadi bagian dari Koalisi Indonesia Maju, maka akan menjadi sinyal pembelahan antara PKS dengan massa ideologisnya. 

"Jika sekarang PKS mau merapat karena alasan proses politik sudah selesai, apa segampang itu PKS bermain narasi ideologisnya? Apa kata pendukung fanatiknya? Sepertinya ada pembelahan sikap antara elite PKS dan massa pendukungnya," kata Mahfuz kepada wartawan, Minggu (28/4/2024).

Mahfuz mengatakan, bahwa selama masa kampanye Pilpres 2024, PKS berkali-kali melakukan serangan negatif secara masif kepada Prabowo-Gibran, khususnya kepada Gibran yang merupakan WaliKota Surakarta dan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Seingat saya selama proses kampanye, di kalangan PKS banyak muncul narasi sangat ideologis dalam menyerang sosok Prabowo-Gibran," ujar Mahfuz.

Selain itu kata dia, PKS selama ini kerap memunculkan narasi yang mengadu domba dan membelah masyarakat.

Seperti salah satu contohnya adalah cap pengkhianat kepada Prabowo karena bergabung dalam kabinet pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin pada 2019, yang menurutnya muncul dari PKS.

"Ketika pada 2019 Prabowo Subianto memutuskan rekonsiliasi dengan Jokowi, banyak cap sebagai pengkhianat kepada Prabowo Subianto. Umumnya datang dari basis pendukung PKS," jelas Mahfuz Sidik.

Padahal selama ini Jokowi dan Prabowo telah berupaya untuk selalu mengingatkan agar tidak menarasikan melakukan politik pecah belah dengan ideologi. 

"Narasi-narasi yang beresiko membelah lagi masyarakat secara politis dan ideologis. Padahal itu yang sering diingatkan oleh Presiden Jokowi dan capres Prabowo," tukasnya.