Timboel Siregar Minta Pemerintah Pisahkan Program Dana Pensiun dengan JP dan JHT

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 27 April 2024 20:58 WIB
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar (Foto: Ist)
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Undang-Undang (UU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) mengamanatkan program jaminan sosial hari tua (JHT) memiliki akun utama (AU) dan akun tambahan (AT) untuk setiap pekerja. 

Ketentuan ini dirasa bisa menjadi solusi mengakhiri kisruh pencairan manfaat JHT yang terjadi. Akan tetapi, di sisi lain, keberadaan dua akun dana dikhawatirkan menciptakan polemik baru.

Dengan kehadiran Pasal 188 UU P2SK yang mengatur dua akun yaitu AU dan AT, merupakan jalan tengah atas polemik Permenaker Nomor 2 tahun 2022 dan Permenaker Nomor 4 Tahun 2022. 

Kendati, BPS (2022) memotret Tingkat kemiskinan di usia lansia semakin meningkat, dan ini menjadi masalah ke depan. Kemiskinan yang dialami para pekerja yang memasuki usia pensiun dan lansia maka menciptakan generasi sandwitch yang akan menciptakan kemiskinan sistemik.

Berangkat dari hal itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengusulkan komposisi AU dan AT adalah 65 persen: 35 Persen.

Hal ini mengacu pada Pertimbangan Hukum Putusan MK No. 033/PUU/2022. “Namun demikian, karena iuran yang  dipergunakan untuk membayar jaminan hari tua sejatinya sebagian juga dari pekerja, maka terhadap pekerja yang berhenti membayar iuran jaminan hari tua karena terkena pemutusan hubungan kerja atau mengundurkan diri haruslah tetap dipertimbangkan untuk diberikan haknya sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam arti pemberian pembayaran jaminan hari tua tersebut tidak menggeser tata cara pembayaran sebagaimana ditentukan dalam skema pembayaran yang diatur dalam  peraturan pelaksana atau dalam norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon.”

Terkait dengan manfaat layanan tambahan (MLT), menurut dia, memang saat ini baru ada MLT Perumahan di program JHT sehingga pekerja dapat memiliki rumah. 

Namun demikian ke depan penting untuk diatur di PP turunan UU P2SK adanya manfaat layanan tambahan (MLT) lain diluar MLT Perumahan, seperti MLT Pangan dan Transportasi. 

Imbal hasil JHT, tegas dia, harus berperan mendukung kebutuhan hidup pekerja pada saat bekerja, khususnya bagi pekerja dengan upah minimum. 

Terkait dengan imbal hasil JHT dalam ketentuan disebutkan minimal hasil pengembangan setara dengan tingkat imbal hasil deposito bank pemerintah. 

"Saya usul ke depan imbal hasil JHT diberikan secara proporsional, yaitu semakin besar upah dan atau saldo JHT maka imbal hasil JHT-nya akan lebih kecil dari pekerja dengan upah minimum," kata Timboel dalam acara seminar Institut Hubungan Industrial Indonesia (IHII) tentang UU P2SK, Kamis (25/4/2024) kemarin.

"Namun seluruh pekerja tetap mendapat imbal hasil minimal setara dengan tingkat imbal hasil deposito bank pemerintah," tambahnya.

Menurutnya, dengan MLT baru dan imbal hasil proporsional, program JHT dikonstruksi ulang sebagai program yang memenuhi prinsip gotong-royong, seperti yang diamanatkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN (UU SJSN). 

"Terkait dengan iuran JHT, saat ini besarnya iuran JHT untuk peserta PPU ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari upah, upah sampai batas tertentu dan penghasilan tertentu," jelasnya.

Di PP turunan UU P2SK nanti, kata Timboel, diharapkan ditetapkan sesuai upah (gapok beserta tunjangan tetap) ditambah tunjangan tidak tetap, sehingga tabungan pekerja akan semakin besar. 

"Demikian juga membuka peluang pembayaran iuran JHT dari pendapatan non upah seperti bonus, tunjangan hari raya, uang servis, dan sebagaianya," katanya.

Pekerja, ujar Timboel, diberikan pilihan untuk menambah persentase iurannya yang dibayar dari upah pekerja. "Persentase iuran dapat diatur di Peraturan Perusahaan atau PKB yang nilainya lebih dari 5,7% termasuk top up-nya," jelasnya.

Selain itu, Timboel turut menyoroti konsep Kemterian Keuangan (Kemenkeu)  tentang Dana Pensiun wajib yang diamanatkan Pasal 189 ayat (4), yaitu membentuk Program Dana Pensiun Wajib dengan menetapkan Batas Atas Upah untuk iuran JHT, sehingga Iuran 5,7 persen sampai Batas Atas Upah tertentu dikelola BPJAMSOSTEK, dan iuran 5,7 persen di atasnya diserahkan ke DPPK/DPLK.

Menurut Timboel, hal ini sangat tidak tepat dan ini akan ditolak SP/SB dan pekerja/buruh. Alasan penolakan, ungkap Timboel, adalah Pasal 58 PP No. 35 Tahun 2021 yang menyandingkan kompensasi PHK dengan dana pensiun. Kalau iuran JHT diserahkan ke DPPK/DPLK maka uang buruh akan dibandingkan dengan kompensasi PHK. 

"Ini akan merugikan buruh," tegasnya.

Alasan lain menolak yaitu karena banyak DPPK/DPLK yang bermasalah sehingga dana buruh akan berpotensi hilang atau bermasalah di DPPK/DPLK. "Bahwa DPPK atau DPLK merupakan asuransi komersial yang tidak mengikuti Sembilan prinsip SJSN, sedangkan Program JHT dan JP harus mengacu pada Sembilan prinsip SJSN," tuturnya.

Untuk itu, Timboel meminta pemerintah agar memisahkan program Dana Pensiun dengan Program JP dan JHT. 

"Kalau pun pemerintah mau membuat program dana pensiun wajib, ya wajibkan saja ke DPPK/DPLK yang akan dibandingkan dengan pembayaran kompensasi PHK (Pesangon dan Penghargaan Masa Kerja). Jadi tetap JHT dan JP dikelola BPJS Ketenagakerjaan, dan tanpa pembatasan upah di program JHT," tukas Timboel.