Jalan Itu Tidaklah Sunyi

Swary Utami Dewi - Pegiat Perkumpulan Penulis Nasional Satupena

Swary Utami Dewi - Pegiat Perkumpulan Penulis Nasional Satupena

Diperbarui 23 April 2024 12:24 WIB
Swary Utami Dewi - Pegiat Perkumpulan Penulis Nasional Satupena (Foto: Istimewa)
Swary Utami Dewi - Pegiat Perkumpulan Penulis Nasional Satupena (Foto: Istimewa)

"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini.

Aku mendengarkan anakku ini. Aku balik bertanya, "Kamu ingin Mamah menjawab apa?"

Dia terdiam sejenak, lalu menjawab, ™Aku ingin Mamah berlaku adil pada semua, tidak membiarkan anak Mamah sangat bergantung dengan orang tua. Aku ingin Mamah memintaku untuk selalu bekerja keras mencapai tujuan dengan cara yang baik."

"Adilkah jika anak pejabat tinggi yang punya banyak fasilitas harus bertarung dengan mereka yang tidak punya fasilitas?" Itu pertanyaan keduanya.

Menurutmu bagaimana? Aku tidak menjawab tapi balik bertanya lagi.

Anakku menjawab, "Mereka seharusnya bertarung secara adil. Tidak boleh menggunakan berbagai fasilitas orang tua.

Jika tidak maka pertarungan itu tidak adil karena yang satu sudah dibantu banyak hal oleh orang tuanya."

Aku terdiam mendengar perkataannya.

Sesaat kemudian ia melanjutkan ucapan tentang fasilitas ini. 

"Yang juga penting, tidak boleh memanfaatkan fasilitas yang ada karena orang tuanya berkuasa, terlebih dengan cara curang untuk membuat anaknya menang dalam pertarungan."

Malam ini aku lanjut termenung. Meski nun jauh di sana karena sedang berkuliah semester 4 di Kalimantan, aku yakin anakku juga telah menyimak apa yang ditayangkan di televisi hari ini.

Terus terang, aku mencermati televisi hari ini dengan rasa bercampur-aduk.

Terkadang nyengir saat mendengar segala sesuatu harus prosedural atau harus diatur dalam hukum positif. Titik. 

Nah jika ternyata itu tidak etis maka bagaimana? Terlebih jika hal yang tidak etis itu belum diatur hukum? Maka bisa lolos dari lubang jarum siapa pun itu yang pintar bersiasat dengan "hukum". 

Yang terpenting, bukankah justru etika yang semestinya jadi lentera penerang bagi hukum dan aturan? Dan bukan sebaliknya?

Lalu ada sesuatu yang makin menghempas lentera keadilan itu. Ada pernyataan dari salah seorang hakim bahwa pemberian dukungan dari seseorang kepada keluarganya, in casu dukungan politik, adalah hak konstitusional yang dilindungi oleh setidaknya Pasal 28 E ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD)1945. 

Memang kalimatnya memiliki tambahan, yakni dalam situasi tertentu, pemberian dukungan politik tersebut bisa dibatasi oleh pasal tertentu dalam UUD. Ini dilakukan agar tak merugikan, terbentur atau menjadi sumber nestapa dalam pemenuhan hak konstitusional orang lain.

Bagaimana bisa soal dukung-mendukung keluarga begitu ditekankan bahkan dinyatakan sebagai hak konstitusional? Bagaimana jika kasusnya ada pada orang tua yang sedang berkuasa penuh di tingkat paling atas negeri dan punya banyak "fasilitas" (seperti istilah anakku tadi)? Akankah ada landasan atau "playing field" yang adil dan setara? 

Bagaimana isu "power tends to corrupt" seperti yang diteriakkan Lord Acton? Apakah tidak ada konflik kepentingan di sini? Aku terpikir, jangan-jangan ini bentuk dukungan terhadap "nepotisme" berkedok hak konstitusional.

Aku jadi teringat pada masa-masa lalu di mana teriakan anti-KKN (anti korupsi, kolusi, nepotisme) begitu menggaung dan bergema. Sekarang ke mana semangat itu pergi?

 Kecenderungan yang ada sekarang adalah menyederhanakan segala sesuatu dengan mengatakan tidak ada aturan tertulis yang mengatur, atau hanya etika yang dilanggar, tapi boleh jalan terus.

Aku kembali menyimak disenting opinion dari tiga hakim yang punya pendapat berbeda dari lima rekannya. "Disenting" ini menunjukkan bahwa ada yang memang harus dilihat "lebih teliti dan jeli" terkait pembagian bantuan sosial, ketidaknetralan kepala daerah dan beberapa hal lainnya yang menjadi materi gugatan. Tiga hakim bersuara berbeda berbanding lima itu "sesuatu" sekali.

Ya... Banyak pelajaran dari peristiwa hari ini. Yang jelas, rasa gemasku terhadap putusan lembaga konsitusi ini tidak membuatku putus asa atas nasib bangsa ini. 

Perjuangan untuk Indonesia yang lebih baik memang masih panjang. Namun yakinlah, bahwa jalan itu tidak ditempuh sunyi dan sendiri.

Ada anak-anak muda yang masih bisa menggunakan logika murninya untuk melihat dan menilai, ada banyak guru besar dan akademisi yang akan terus menjaga demokrasi dan keadilan, ada para "penjaga hukum" yang berani jujur dan memilih tetap mengemban kewajiban moral untuk bersuara berbeda, serta masih banyak warga bernurani yang akan terus berupaya untuk kebaikan negeri ini. 

Jalan itu ternyata bukan jalan sunyi.

Topik:

UUD Konstitusi