Ekonom Ungkap Nasib Ekonomi Indonesia di Tengah Ketegangan Perang Global

Jakarta, MI - Kepala Center of Digital Economy and SMEs, INDEF Eisha Maghfiruha Rachbini menyatakan, bahwa IMF sudah beberapa kali melakukan revisi outlook pertumbuhan ekonomi global yang pada implementasinya tidak dapat diketahui konflik perang kapan berakhir. 

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi karena dilakukan revisi beberapa kali menjadi sebesar 3,2 %.

Dia menyebutkan di negara-negara maju risiko domestik sudah berlalu, dan meningkat dari 1,6 % menjadi 1,7% PDB.

Di emerging market yang sebelumnya menjadi tumpuan pertumbuhan global, diprediksi menurun pertumbuhan energy dari 4,3% ke 4,2 % saja.

“Indonesia, sempat stay di 5% moderat, namun ke depan harus berhati-hati diperkirakan tumbuh di bawah 5%. Dan nampaknya untuk tumbuh di 5% akan kesulitan,” kata Eisha Maghfiruha dalam diskusi publik INDEF bertajuk ”Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global” yang digelar secara daring pada Sabtu (20/4/2024).

Inflasi dalam negeri terjadi volatile karena El Nino yang mendorong harga bahan pokok meningkat. Namun inflasi masih bisa dikendalikan dan bertahan di 2,61% pada 2023. 

"Ada tren peningkatan di 2024. Konflik perang di timteng dan Rusia Ukraina akan berimpact pada tekanan harga barang-barang input dan rupiah terdepresiasi dan jadi salah satu tekanan inflasi. Inflasi diperkira masih bisa dikendalikan ke depan," ungkapnya.

Menurutnya, dampak konflik Rusia-Ukraina mendorong harga-harga komoditas dan energi. 

Sementara perang Israel – Hamas dan Iran dampaknya pasti akan berpengaruh pada harga-harga komoditas global. Harga emas pun jadi melonjak sangat tinggi. 

"Karena emas salah satu safe heaven dari US dollar," jelasnya.

Eisha Maghfiruha mengemukakan, bahwa risiko tidak hanya berupa kehancuran infrastruktur, tetapi ada ketegangan yang terjadi antara China vs USA yang berupa upaya pengambil alihan posisi power di tingkat global. 

Bahkan, berdampak terhadap supplu global, logistik dan dampak terhadap perekonomian domestik.

“Dari situ akan ada supply shock dari sisi produsen karena ada alur logistik yang lebih panjang dan lama akibat pengalihan jalur trade maritim akibat konflik dan keamanan jalur laut,” ungkapnya.

Akibatnya, terjadi arus supply chain yang terputus. 

"Hal itu mempengaruhi industri manufaktur yang terhambat inputnya, terjadi kelangkaan dan bisa menjadikan kenaikan harga-harga komoditas menjadi sangat tinggi".

"Apalagi Indonesia sebagai negara importir bahan baku yang industrinya akan menanggung struktur biaya amat tinggi dari risiko geopolitik global risk tersebut," imbuhnya.

Sementara tantangan kebijakan ekonomi dampak dari serangan balik Israel ke Iran, meningkatkan eskalasi konflik timur tengah dan dampak geopolitik global risk sehingga perlu perhatian khusus para ekonom. 

"Maka dari itu butuh mitigasi untuk memastikan stabilitas makro ekonomi," lanjutnya.

Harus diutamakan juga menjaga stabilitas daya beli masyarakat dan melindungi golongan bawah dan rentan. 

"Di antara kebijakan yang harus diperhatikan dalam strategi pencapaian pertumbuhan ekonomi," tuturnya.

Menurutnya, untuk menjaga daya beli agar tidak turun, pemerintah perlu mengendalikan harga-harga atau menjaga inflasi. 

"BI dan pemerintah harus berperan penting menjaga dari sisi moneter," tegasnya.

Selanjutnya pada sektor industri, eskalasi konflik, ungkap dia, akan berpengaruh pada naiknya harga-harga dan biaya produksi akibat kelangkaan input.

Terutama imported input. Dibutuhkan kebijakan industri yang tepat untuk mendukung produktivitas industri.

"Terutama industri prioritas nasional dan industri kecil menengah," katanya.

Terakhir, kebijakan foreign trader perlu ditujukan ke kawasan yang tidak terpengaruh konflik.

"Misalnya, Jepang, China, Asean, India dan juga negara tujuan non tradisional," tandasnya.