MK Tak Utak-atik Peran Joko Widodo Pemilu 2024? Tersandera kah?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 26 April 2024 13:47 WIB
Jokowi menyaksikan penandantanganan Suhatoyo sebagai Ketua Mahkamah Kosntitusi (MK) (Foto: Istimewa)
Jokowi menyaksikan penandantanganan Suhatoyo sebagai Ketua Mahkamah Kosntitusi (MK) (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Mahkamah Konstitusi (MK) telah membacakan putusan soal sengketa hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 pada Senin (22/4/2024). Hasilnya, Majelis hakim MK menolak seluruh gugata yang diajukan pasangan calon nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan nomor uurt 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD. 

Dalam pertimbangannya, hakim menilai dalil dan bukti yang diajukan paslon tersebut tidak cukup untuk membuktikan adanya relavansi yang signifikan pada perolehan suara Pemilu 2024. 

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menyampaikan ada beberapa hal yang masih perlu diperjuangkan usai putusan MK itu.

Hal pertama yang perlu dilakukan adalah tetap mengupayakan agar pihak yang merusak demokrasi saar pemilu mempertanggungjawabkan di depan hukum.

“Yang pertama adalah rentetan dari itu nggak berakhir. Harus tetap diupayakan, siapa yang melanggar aturan hukum, siapa yang merusak penegakan hukum, siapa yang merusak demokrasi tetap harus dibawa ke pertanggungjawaban hukum,”  katanya saat menyampaikan pandanganya di acara jumpa pers yang digelar Constitutional Law Society Fakultas Hukum UGM dikutip pada Jum'at (26/4/2024).

Selain itu, dalam putusan MK, terdapat tiga hakim yang dissenting opinion. Menurutnya, hal itu menunjukkan bahwa harus ada yang bertanggungjawab terhadap kejahatan demokrasi berupa bansos dan pengerahan aparat jelang Pemilu. “Dan saya kira penanggung jawabnya tentu saja adalah presiden. Jadi harus bertanggungjawab,” tegasnya.

Oleh karena itu, Zainal menilai penting agar para anggota DPR untuk mengajukan hak angket. Sebab proses yang keliru tidak boleh dibiarkan tanpa pertanggungjawaban.

“Saya kira untuk alasan itu, harus kita dorong betul teman-teman di DPR untuk serius mengajukan angket, harus serius. Biar bagaimana pun itu esensi penting, tidak boleh dibiarkan proses yang keliru tanpa pertanggungjawaban,” ungkapnya.

“Saya kira proses itu silakan berjalan. Teman-teman pengawasan politik silakan melakukan langkah di situ. Plus pada saat yang sama saya kira ini catatan buat masyarakat sipil,” imbuhnya.

Zainal mengungkapkan masyarakat sipil juga perlu melakukan konsolidasi untuk memperkuat kemampuan mengontrol pemerintahan. “Maksud saya adalah ada kemampuan kita untuk mengingatkan dan melakukan perlawanan di titik itu dan kita harus bersiap sebenarnya".

"Bisa jadi ini masuknya musim dingin. Kalau musim dingin, kalau istilahnya film itu winter is coming brace yourself, jadi kita lah yang harus mempersiapkan diri untuk itu,” imbuhnya.

MK tak utak-atik peran Jokowi
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Koentjoro turut menyoroti soal hasil putusan itu. Dia menyesalkan MK yang tak menyinggung soal peran Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden yang tak dilakukan dengan baik setelah massa kampanye dalam Pemilu 2024. 

"Nah yang terjadi setelah kampanye kemarin, Jokowi itu tidak memerankan dirinya sebagai Presiden, tapi Jokowi memerankan sebagai bapaknya Gibran. Nah peran itu yang tak pernah dikutik dalam MK kemarin, penyalahgunaan peran itu," ujarnya saat dikonfirmasi, Selasa (23/4/2024). 

Menurutnya, putusan MK soal sidang sengketa Pilpres itu sangat mengecewakan, salah satunya karena dalam massa kampanye pengerahan massa, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tidak melakukannya dengan benar. 

Prabowo-Gibran tidak banyak melakukan kampanye sebagai paslon, mereka justru banyak melakukan kegiatan sebagai Menteri Pertahanan, yang mana keduanya menyalahgunaan peran tersebut. 

"Kampanye pengerahan massanya juga tak benar karena kalau kita melihat yang kampanye itu Prabowo-Gibran itu tak banyak kampanye. Prabowo-Gibran itu banyak melaksanakan tugasnya sebagai Menteri Pertahanan, kemana-mana sebagai Menteri Pertahanan, yang terjadi adalah penjungkirbalikan fakta, memainkan peran," katanya. 

Begitu juga dengan Presiden Jokowi. Dahulu Jokowi banyak dicintai rakyat lantaran Jokowi sebagai presiden sekaligus bapaknya Gibran Rakabuming Raka. Namun, Jokowi dengan sangat baik memerankan perannya sebagai Presiden sehingga dia di puji banyak orang karena dia memerankan sebagai presiden. 

"Nah yang terjadi setelah kampanye kemarin, Jokowi itu tidak memerankan dirinya sebagai Presiden, tapi Jokowi memerankan sebagai bapaknya Gibran. Nah peran itu yang tak pernah dikutik dalam MK kemarin, penyalahgunaan peran itu. Karena itu saya khawatirkan ke depan adalah pembangkangan, tidak taat pada Gibran itu sangat mungkin," katanya. 

Koentjoro menambahkan, dia menyayangkan lantaran dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024 kemarin, hakim MK yang menangani perkara itu tak mengutak-atik soal dugaan penyalahgunaan peran tersebut.

Tersandera?
Usai putusan MK PHPU, nama hakim ketua Suhartoyo mencuat dipublik. Banyak yang kembali mencari rekam jejak Suhartoyo, termasuk soal keterkaitannya dengan kasus BLBI.

Direktur Rumah Politik Indonesia Fernando Emas menilai upaya masyarakat membongkar Kembali rekam jejak Suhartoyo itu sah-sah saja. Ia pun menganggap wajar jika banyak pihak yang menarik benang merah atas kasus Suhartoyo dengan persoalan BLBI.

“Itu sah-sah saja ketika ada pihak yang menganggap misalnya Pak Suhartoyo dihubungkan dengan kasus BLBI dan hakim lain dengan kasus lain,” kata Fernando saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Jum'at (26/4/2024).

Fernando meniai, kasus yang sempat menyeret nama Suhartoyo tersebut merupakan kasus lama terkait Korupsi BLBI. Sehingga, sudah seharusnya pihak-pihak yang menganggap isu tersebut untuk bisa membuktikan secara langsung.

Ia juga menilai banyak pihak yang merasa jika MK sudah disandera oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Terlebih, ketua MK Suhartoyo juga memiliki rekam jejak yan cukup gelap terkait kasus BLBI.

“Tinggal bagaimana mereka membuktikan bahwa adanya upaya dari kekuasaan atau pihak-pihak yang berkepentingan terhadap putusan MK untuk memenangkan Paslon 02,” ucapnya.

Adapun Suhartoyo pernah terseret dalam kasus korupsi BLBI yang merugikan ratusan triliun kepada negara. Dugaan itu mencuat saat menjelang Suhartoyo dilantik menjadi Hakim MK menggantikan Fadlil Sumadi pada 7 Januari 2015. 

Saat itu, Komisi Yudisial (KY) memprotes pencalonan Suhartoyo sebagai Hakim MK yang diajukan oleh Mahkamah Agung (MA) karena dianggap melakukan pelanggaran etik. Dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Suhartoyo yakni saat proses pengurusan berkas peninjauan kembali (PK) Sudjiono Timan di sebagai tersangka korupsi kasus BLBI.

Keputusan PK tahun 2013 tersebut dinilai janggal karena sebelumnya Sudjiono Timan, mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia itu, dinyatakan terbukti merugikan negara hingga Rp369 miliar dan divonis 15 tahun penjara.

Tak hanya itu, Suhartoyo juga diduga melakukan perjalanan sebanyak 18 kali ke Singapura. Itu terjadi ketika proses persidangan Timan tengah berlangsung periode Juni-Agustus 2013.

Terkait hal tersebut, KY ketika itu meminta pemerintah untuk membatalkan pelantikan Suhartoyo sebagai Hakim MK. Namun permohonan KY tidak digubris  dan Presiden Jokowi tetap melantik Suhartoyo sebagai Hakim MK. (wan)