Amicus Curiae untuk MK dari Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia

Dr. KRMT Roy Suryo - Anggota APDI/Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen

Dr. KRMT Roy Suryo - Anggota APDI/Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen

Diperbarui 16 April 2024 16:26 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI (Foto: MI/Aswan)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI (Foto: MI/Aswan)

SETELAH sebelumnya ada 303 Profesor dan Guru Besar, kemudian 159 Budayawan dan Seniman, Guru Besar FH UI, LSJ FH UGM, bahkan sampai Megawati Soekarnoputri menulis Amicus Curiae, hari ini, Selasa (16/4/2024) Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia (APDI) yang terdiri dari beberapa Pakar IT Independen, Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB), Keluarga Alumni ITB Penegak Pancasila dan Anti Komunis (KAPPAK).

Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Komite Independen Pemantau Pemilu dan Perekat Nusantara (KIPP) menyampaikan juga Amicus Curiae dan diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi secara langsung pada pukul 11.30 WIB.

https://monitorindonesia.com/storage/media/photos/5102f663-4ef9-4e60-98a3-4d373f830683.jpg

Kenapa sekarang banyak ada amicus curiae tersebut? karena keberlakuan amicus curiae dalam sistem hukum Indonesia pada umumnya didasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat 1 UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 

Pasal inilah yang menjadi dasar praktek amicus curiae dapat diterapkan dalam sistem hukum civil law, sebab dengan adanya amicus curiae dapat membantu hakim dalam memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 

Dilansir dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), amicus curiae bukan merupakan bentuk intervensi terhadap kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara. Akan tetapi, amicus curiae justru membantu majelis hakim dalam memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus perkara.

Oleh karena kelompok-kelompok masyarakat ini merasa sebagai "Sahabat Pengadilan" sebagaimana hakikat dasar dari amicus curiae tersebu, sudah sepantasnyalah MK lebih memperhatikan lagi perkara yang sedang ditanganinya.

Karena pasti persoalannya menyangkut hajat hidup orang banyak dan ada hal yang membuat masyarakat tersebut sampai bergerak, dalam hal ini adalah putusan untuk pemenang pemilu 2024 yang sebelumnya sudah diumumkan KPU tanggal 20 Maret 2024, namun kemudian digugat oleh 01 dan 03 di MK.

Oleh karenanya meski APDI bukan selaku pihak yang berperkara dalam kasus tersebut, namun pemberian amicus curiae seperti ini sekarang sudah mulai lazim dan diperhatikan dalam hukum Indonesia. Dalam kasus Pilpres saat ini, sudah cukup banyak bukti terkait.

Bukti-bukti itu antara lain: 

1. Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023 yang memiliki "conflict of interest" oleh (Paman) Anwar Usman selaku Ketua MK saat itu.

2. Putusan MKMK No.2/MKMK/L /ARLTP/10/2023, tanggal 7 November 2023, karena Anwar Usman Hakim Konstitusi yang juga Ketua MK dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran barat kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi, sehingga diberikan sanksi Administratif Pemberhentian dari Jabatan Ketua MK dan sejumlah larangan termasuk larangan mengadili sengketa Pilpres 2024. 

3. Selanjutnya 7 orang Komisioner KPU dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu oleh DKPP dengan sanksi administratif peringatan keras terakhir tanggal 5 Februari 2024. 

4. Sejumlah fakta dan peristiwa lain tentang dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Presiden, dalam soal bansos, menggerakan ASN dan APH untuk melakukan tindakan yang memihak pada Paslon 02, Asosiasi Kepala Desa Seluruh Indonesia (APDESI) dan lain-lain.

Terkait diskursus beban pembuktian, siapa yang harus membuktikan, dan kualitas bukti yang diajukan, maka praktek yang terjadi umumnya beban pembuktian ada di penggugat. 

Ini dapat dilihat dari latin maxim semper necessitas probandi incumbit ei qui agit yang sering diartikan the burden of proof lies on the plaintiff, atau actori incumbit onus probandi yang sering diartikan the plaintiff has the burden of proof

Padahal, kata agit atau actori itu sebenarnya berlaku untuk siapa saja, karena agit atau actori itu arti dasarnya adalah the one who acts. Latin maxim yang lain menyebut Onus probandi incumbit ei qui dicit, ini kalau diterjemahkan lebih jelas lagi, the burden of proof rests on the one who says it.

Secara khusus amicus curiae dari APDI yang karena didalamnya beranggotakan para ahli IT Independen, maka meletakkan Sistem Infornasi Rekapitulasi Pemilu (Sirekap) sebagai salah satu pokok bahasan utamanya, karena secara de facto dan de jure, Sirekap inilah yang digunakan dalam Pemilu 2024 mulai sebelum pencoblosan hingga perhitungan suaranya. 

Hal ini penting diungkap dalam amicus curiae APDI ini karena Sirekap seolah-olah dan dipososikan hanya sebagai "alat bantu" yang bisa dikesampingkan, bahkan salah satu ahli 02 menyatakan hanya "pepesan kosong" saja.

Padahal sesuai dengan Pasal 1 PKPU 5 2024 butir 28: Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik yang selanjutnya disebut Sirekap adalah perangkat aplikasi berbasis teknologi informasi sebagai sarana publikasi hasil penghitungan suara dan proses rekapitulasi hasil penghitungan suara serta alat bantu dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu. 

Dari ketentuan pasal ini dapat disimpulkan bahwa kedudukan dan peran Sirekap ada 3, yaitu:

1. Sarana publikasi hasil penghitungan suara

2. Sarana publikasi proses rekapitulasi hasil penghitungan suara

3. Alat bantu pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan suara

Sesuai Pasal 18, 35, 50, 67 dan 85 PKPU 5 2024, dapat disimpulkan bahwa seluruh rekapitulasi hasil penghitungan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan dibuat melalui Sirekap.

Secara terinci dalam amicus curiae APDI ini dimuat kesaksian ahli Dr. Ir Leony Lidya dan Ir. Hairul Anas yang sudah disampaikan dengan sangat baik didepan Majelis Hakim MK disertai Lampiran detail pembuktiannya. 

Sekaligus juga disampaikan sanggahan dan bukti yang mementahkan kesaksian Prof Marsudi Kisworo dan Yudhistira yang mengandung banyak sekali hal tidak benar atau menutupi kenyataan. 

Hal ini penting diketahui Hakim MK dan Masyarakat agar Sirekap tidak digunakan sebagai alat bantu kecurangan bahkan Kejahatan Pemilu karena banyaknya hal-hal negatif yang telah terjadi dengan adanya Sirekap.

Mulai dari dipatokannya hasil "24-58-17" mulai dari awal perhitungan, peletakan data server-cloud di Alibaba.com Singapura, kesalahan masif perhitungan TPS hingga lebih dari 400 ribu dari total 820.223 TPS, dan sebagainya.

Sekaligus juga di amicus curiae APDI ini kembali disinggung keabsahan prosedur teknis kerja sama dengan pihak-pihak ketiga, termasuk kampus Isntitut Teknologi Bandung (ITB) dan Alibaba, termasuk legalitas pembiayaannya yang menggunakan anggaran negara yang berasal dari uang rakyat. 

Karena bagaimanapun juga defacto dan de jure juga sudah ada dana yang dikeluarkan guna pemanfaatan Sirekap yang ternyata malah membuat banyak kegaduhan di masyarakat akibat kesalahan-kesalahannya. 

Hal ini sama sekali tidak bisa dinggap enteng atau sepele, apalagi hanya sekelas "pepesan kosong" seperti yang dikemukakan ahli 02, karena kerugian dan kekacauan sudah nyata terjadi.

Kesimpulannya, amicus curiae adalah bukti kecintaan masyarakat terhadap lembaga kehakiman, dalam hal ini MK, yang sedang mengadili hal krusial dan menjadi perhatian publik. 

Kekhususan isi amicus curiae tergantung dari lembaga, institusi atau kelompok mana yang membuatnya, namun kesemuanya membuktikan kepedulian masyarakat. 

Oleh karena itu seyogyanya memang Hakim MK memperhatikan dan menpertimbangkan apa-apa yang sudah ditulis, khususnya soal TI sebagaimana yang disampaikan langsung ke MK hari ini, sembari menantikan tayangan eksklusif berupa film berdedikasi yang akan direlease oleh APDI berjudul "Dirty Election" atau "Memang Curang" beberapa hari kedepan.