Tak Mau Ketinggalan dari Megawati, Habib Rizieq dan Din Syamsuddin Ikut Ajukan Amicus Curiae ke MK

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 17 April 2024 20:00 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (Foto: MI/Dhanis)
Gedung Mahkamah Konstitusi (Foto: MI/Dhanis)

Jakarta, MI - Usai Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri mengajukan amicus curiae atau sahabat pengadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2024.

Kini mantan pentolan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) dan mantan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, juga mengirim dokumen amicus curiae ke MK yang diserahkan pada hari ini, Rabu (17/4/2024).

Selain ketiga nama itu, Ketua Umum PA 212, Shabri Lubis, Ketua GNPF Ulama, Yusuf Martak, dan mantan juru bicara Front Pembela Islam, Munarman juga ikut mengajukan amicus curiae ke MK. 

"Kami ini kelompok warga negara Indonesia yang memiliki keprihatinan mendalam terhadap keberlangsungan dan masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Utamanya dan pertama-tama adalah dalam tegaknya keadilan yang berdasarkan pada asas negara hukum yang berkeadilan," kata kuasa hukum Habib Rizieq, Aziz Yanuar dalam keterangannya Rabu, (17/4/2024).

Dalam amicusnya, mereka menyematkan empat poin yang diserahkan ke MK. Antara lain, pertama Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi negara yang dihasilkan dari rahim Reformasi, dimaksudkan sebagai Guardian of Contitution (pasukan penjaga konstitusi) yang tugas pokok dan fungsinya adalah untuk mencegah terulangnya praktik-praktik maupun perilaku dari penyelenggara yang melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).

Kedua, adalah soal kewajiban hakim untuk "menggali, mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat", sebagaimana telah ditetapkan melalui Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 

Ketiga, keempatnya menilai adanya tanda-tanda penyalahgunaan kekuasaan yang disebabkan karena konflik kepentingan dari pimpinan tertinggi, yaitu Presiden.

Poin keempat, yaitu potensi terjadinya tindakan represif, diktator, otoriter, korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia. Hal itu dapat mengakibatkan struktural bangsa dan negara semakin jatuh. 

"Untuk itu, tepat kiranya, secara kelembagaan negara, Mahkamah Konstitusi mengambil peran meluruskan berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang melenceng dari semangat reformasi," jelasnya. 

"Kami mendesak kepada Yang Mulia Hakim Konstitusi, untuk mengembalikan kehidupan berbangsa dan bernegara kepada tujuan sebagaimana pembukaan UUD 1945," tambahnya menegaskan.